Rokok merupakan amsal sempurna untuk melukiskan bagaimana kapitalisme bekerja. Bermula dari tanaman cengkeh dan tembakau yang kemudian diolah menjadi rokok. Dengan modal usaha dibumbui kelicikan, jenis usaha yang sudah berdiri sejak era kolonialisme ini dapat meraup untung begitu besar, lebih-lebih jika perusahaan itu berdiri di negeri yang para pemimpinnya gampang disuap dan masyarakatnya gampang dininabobokkan.
Jauh hari Karl Marx mengingatkan bahwa sebuah komoditas mesti berguna atau terlihat cukup berguna agar seseorang membelinya, tapi ketergunaan dalam hal ini bukanlah isu terpenting. Begitu pula dengan komoditas rokok. Iklan merupakan salah satu senjata perusahaan rokok yang paling ampuh karena diyakini dapat mengendalikan gaya hidup.
Kini, hampir tidak ada tempat yang tak tersentuh iklan rokok. Mulai dari warung-warung kecil, tugu-tugu selamat datang, lapangan olah raga, pasar, dan banyak lagi. Benar bahwa penguasa negeri ini mulai mengeluarkan atauran tentang larangan untuk merokok di tempat-tempat publik, tapi itu hanya petuah kesehatan yang sudah lama tidak mujarab. Kampanye anti merokok bukankah tak henti-henti diteriakkan, tapi kenapa jumlah konsumen rokok terus bertambah setiap waktu? Jawabannya, karena sihir yang gencar ditebar oleh perusahaan rokok.
Disadari atau tidak rokok kini sudah menjadi gaya hidup. Rokok terlanjur menjadi idaman tiap mulut. Terasa masam jika sehari mulut tak mengisap rokok. Terasa muram kalau tangan tak memegang puntung. Dan mungkin hidup jadi membosankan andai kita tak mengeluarkan asap rokok. (hlm. 4) Sepertinya apa yang dikatakan Sigmund Frued ada benarnya: “Merokok adalah salah satu kesenangan yang paling hebat dan paling murah dalam hidup.”
Itu terjadi karena dunia citra yang serba indah yang ditebar perusahaan rokok di mana-mana. Sihir itu berhasil menciptakakan sugesti dan emosi, yang kemudian mendorong semua orang untuk membeli. Inilah gambaran kesaktian ‘sihir’ perusahaan rokok di negeri ini yang berhasil meroketkan penjualan dari produk yang sesungguhnya tidak menyejahterahkan itu.
Siapa akan menyangka kalau bisnis ‘kepulan asap’ ternyata dapat meraup untung menakjubkan. Pada tahun 2005 sebuah perusahaan rokok ternama di negeri ini mencapai laba bersih Rp. 24 triliun. Jumlah tersebut sungguh fantastis karena masih lebih tinggi dari APBN untuk anggaran kemiskinian yang hanya senilai Rp. 23 triliun. Perbandingan ini sebenarnya sangat memalukan untuk disandingkan. Tetapi perbandingan ini penting untuk menyatakan betapa negara kita tak memiliki kekuatan ekonomi seperkasa perusahaan rokok.
Maka begitulah, dengan laba yang didapat, perusahaan rokok bisa menyelinap ke segala lini kehidupan; menggelar event-event besar, memberikan bantuan bea-siswa, memberikan santunan sosial, dan lainnya. Mereka terkesan budiman dan penyantun yang mulia, meski sesungguhnya semua itu sarat dengan kepentingan untuk meroketkan penjualan produk mereka.
Siapapun dijadikan target sihir perusahaan rokok, baik pecandu atau anak-anak yang sedang tumbuh. Sebab bagi perusahaan rokoh, mulut setiap orang adalah sasaran utama bisnis. Mulut setiap orang harus dijejali dengan nikmatnya tembakau, nikotin, dan cengkeh. Andai mereka sudah menikmati maka tugas perusahaan rokok tinggal bagaimana membuat setiap orang bisa kecanduan dan tetap setiap para produknya.
Sementara negara hanya berdiam diri menyaksikan kebuasan perusahaan rokok. Memang ada cukai atas usaha racun ini, tapi malangnya, cukai rokok kita berada pada posisi tersendah, hanya 30 persen, jauh dari Thailand yang mematok cukai untuk rokok sampai angka 75 persen. Lebih parah lagi, semua aturan cukai itu seringkali dapat diakali. Pemilik kantong uang tidak serta merta menuruti keinginan tolol itu, sehingga perusahaan rokok hanya membuat para pemiliknya bertambah kaya, sementara nasib para perokok mustahil seperti mereka.
Buku ini menarik bukan hanya karena dilengkapi dengan data-data keuntungan pertahun perusahaan rokok besar di Indonesia dan gambar-gambar kritis dan ironis tentang “budaya rokok”, tetapi juga karena buku ini berusaha menjelaskan secara rinci kerja-kerja perusahaan rokok dalam membius pada konsumen. Pemikir muda Eko Prasetyo menjelaskan, perusahaan rokok ibarat raksasa yang memproduksi putung rokok dengan kemampuan menyihir mulut jutaan makhluk. Membaca buku ini kita akan percaya bahwa iklan rokok hanya penyambung dari keuntungan besar yang kini mulai menggurita. Para perokok banyak yang tidak sadar kalau diam-diam telah menjadi budak yang memberikan keuntungan fantastis bagi mereka.
Eko Prasetyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar