Di mana keberadaan organisasi dan partai Islam ketika kebijakan  pemerintah mengimpit kehidupan rakyat kecil? Sampai di mana peran para  pemuka Islam, ulama, ketika tayangan atau industri media mengeksploitasi  nilai-nilai Islam? Apa dan harus bagaimana orang Islam melakukan  perlawanan terhadap sistem yang menindas? Eko Prasetyo melalui bukunya,  “Islam Itu Agama Perlawanan”, mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan  tersebut.
Maraknya tayangan keagamaan versi sinetron, seperti Rahasia  Ilahi, Astagfirullah, Takdir Ilahi, sampai Si  Yoyo adalah bukti bahwa agama telah menjadi objek menarik bagi  industri media di Indonesia. Tayangan sinetron tersebut tidak lain  adalah turunan dari tayangan-tayangan sebelumnya seperti, Uka-Uka,  Dunia Lain, sampai Pemburu Hantu, yang menuai banyak  kritikan. Kemudian muncullah istilah yang menyatakan bahwa  tayangan-tayangan tersebut telah mengeksploitasi makhluk halus. Islam  yang merupakan agama mayoritas di negeri ini tentu saja menjadi titik  tolak dari tayangan yang “katanya” berating tinggi tersebut. Dengan  menghadirkan ulama ataupun ustaz, kemasan acara menjadi lebih lengkap.
Tidak  hanya dalam ranah media, baik cetak maupun elektronik, Islam telah  menjadi komoditas yang unggul dan bernilai bisnis. Hal ini berlaku juga  dalam dunia perpolitikan. Banyak organisasi dan partai Islam cenderung  menjadikan Islam hanya sebagai “daya tarik” untuk merenggut dukungan  masyarakat, terutama ketika menjelang pemilu. Namun, ketika masyarakat  terjepit dengan kondisi-kondisi riil, seperti kenaikan harga BBM,  mahalnya biaya pendidikan, kesehatan, dan kasus-kasus penggusuran, tidak  ada gerakan konkret dari organisasi ataupun partai Islam yang ada.  Semuanya seakan ikut terlarut di dalam setiap kebijakan yang kebanyakan  berdampak buruk bagi orang miskin dan mayoritas masyarakat kita saat  yang masih tergolong miskin, baik dari segi ekonomi, intelektual,  ataupun keberanian menentang penindasan.
Bagaimana dengan peran  para ulama? Dalam buku “Islam Itu Agama Perlawanan”, Eko Prasetyo  menggambarkan bahwa peran ulama sejauh ini belumlah dirasa nyata dalam  mengatasi permasalahan umat. Para ulama, sebagian malah tidak ambil  bagian dalam upaya pembelaan rakyat dan bahkan ada juga yang mendukung  kebijakan yang merugikan rakyat kecil. 
Masyarakat yang  membutuhkan gerakan konkret dari para tokoh “ulama”, malah hanya  mendapatkan ceramah demi ceramah yang tidak mampu mengatasi kelaparan,  penggusuran, buta huruf, ataupun buruknya kondisi kesehatan masyarakat.  Kenapa tidak memberikan solusi konkret, seperti membuka sekolah murah  (pesantren murah) dsb.? Kan ulama juga sudah banyak yang kaya  raya, kenapa tidak membuka lapangan kerja bagi para pengangguran?  Seperti itulah pertanyaan-pertanyaan yang tersirat dalam buku ini.
Kasus  korupsi yang melanda Departemen Agama (Depag), yang melibatkan  pejabat-pejabatnya dalam penyelewengan Dana Abadi Umat adalah sebuah  gambaran bahwa institusi yang diberi tanggung jawab dalam mengurusi umat  itu juga tidak bersih dari kepentingan yang tidak memihak rakyat.
Islam  hanya menjadi pelipur lara bagi derita orang-orang kecil. Alasan untuk  bersabar dan bertawakal seakan telah menjadi doktrin Islam yang ampuh.  Namun, hal itu bukan suatu solusi terhadap permasalahan yang ada, sebuah  gerakan yang konkret harus dilakukan oleh umat Islam dan pada akhirnya  untuk umat Islam juga, bukan untuk segelintir orang yang menjadikan  Islam sebagai komoditas di pasar kapitalisme.
Islam sebagai agama  perlawanan, menurut Eko harus mengembalikan perlawanan masa lalu.  Seperti spirit yang dibawa Nabi Muhammad saw yang tidak pernah  kompromi terhadap ajaran walau dibujuk dengan jabatan dan kekayaan. Spirit  yang membentuk pribadi Muslim sebagai sosok yang selalu mempertanyakan  jalannya sebuah sistem, apalagi kalau sistem tersebut kemudian  melahirkan korban.
Yang pasti, buku ini adalah sebuah cermin yang  di dalamnya terdapat wajah buruk dari kehidupan beragama “umat Islam”  yang terpantul dari realitas yang ada di sekitar kita. Dalam buku ini,  Eko juga melengkapi wacana yang diusungnya dengan data-data di lapangan,  baik itu informasi dan kutipan dari media massa, ataupun hasil risetnya  di lapangan yang kebanyakan dilakukan di tengah-tengah aktivitasnya  sebagai juru kompor di organisasi Islam baik kategori mahasiswa ataupun  gerakan pemuda. 
Selain itu, buku ini menjadi lebih menarik dengan  dilengkapi gambar atau karikatur berteks nakal yang mampu untuk  mengocok perut dan kesadaran kita, karena ternyata seperti itulah  keadaan lingkungan kita selama ini, yang terjadi tapi kita tidak  menyadarinya.
Dalam pengantarnya, Eko yang sebelumnya telah  menelurkan “Islam Kiri - Jalan Menuju Revolusi Sosial”, “Orang Miskin  Dilarang Sekolah”, dan beberapa seri kritisnya, mengatakan, “Buat saya  buku ini adalah jalan kembali saya untuk menyapa lagi gerakan muda Islam  yang kini sedang bergairah untuk menata kembali pandangan-pandangan  sosialnya.” 
Deni Andriana, Pimpinan Litbang  Pers Suara Mahasiswa Unisba dan Mahasiswa Jurnalistik Unisba.
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar