Pendahuluan
Zaman pertemuan banyak kebudayaan sebagai hasil dari semakin padatnya jringan komunikasi daerah, nasional, dan internasional. Amalgamasi antara bermacam-macam kebudayaan itu kadangkala bisa berlangsung lancer dan lembut. Tetapi, tidak jarang pula sebagiannya berlangsung melalui konflik-konflik hebat. Terjadilah konflik-konflik budaya dengan kemunculan situasi social yang khaotis dan kelompok-kelompok social yang tidak bisa dirukunkan sehingga mengakibatkan banyak kecemasan, ketegangan dan ketakutan dikalangan rakyat banyak, yang semuanya tidak bisa dicernakan dan diintegrasikan oleh individu. Situasi social seperti ini pada akhirnya mudah mengembangkan tingkah laku patologis/sosiopatik yang menyimpang dari pola-pola umum. Timbullah kelompok-kelompok dan fraksi-fraksi ditengah masyarakat yang terpecah-pecah, masing-masing menaati norma-norma dan peraturannya sendiri, dan bertingkah semau sendiri. Maka muncullah banyak masalah social, tingkahlaku sosiopatik, deviasi social, disorganisasi social, disintegrasi social, dan diferensiasi social. Nlambat laun, hal itu menjadi meluias dalam masyarakat. Maka dengan tidak mengabaikan factor-faktor manusia dan psikologisnya, kita akan sedikit mencoba menganalisis terlebih dahulu pengertian, latar belakang dan sejarah patologi social yang diharapkan kita mendapatkan gambaran tentang maksud dari konsep patologi social itu sendiri.
- A. Pengertian Patologi Sosial
- B. Sejarah dan latar belakang Patologi Sosial
Sejarah mencatat bahwa orang menyebut suatu peristiwa sebagai penyakit social murni dengan ukuran moralistic. Sehiongga apa yang dinamakan dengan kemiskinan, pelacuran, alkoholisme, perjudian, dsb adalah sebagai gejala penyuakit social yang harus segera dihilangkan dimuka bumi. Kemudian pada awal abad 19-an sampai awal abad 20-an, para sosiolog mendefinisikan yang sedikit berbeda antara patologi social dan masalah social[3].
Masalahnya adalah kapan kita berhak menyebutkan peristiwa itu sebagai gejala patologis atau sebagai masalah social? Menurut kartini dalam bukunya “patologi social” menyatakan bahwa orang yang dianggap kompeten dalam menilai tingkah laku orang lain adalah pejabat, politisi, pengacara, hakim, polisi, dokter, rohaniawan, dan kaum ilmuan dibidang social. Sekalipun adakalanya mereka membuat kekeliruan dalam membuat analisis dan penilaian tehadap gejala social, tetapi pada umumnya mereka dianggap mempunyai peranan menentukan dalam memastikan baik buruknya pola tingkah laku masyarakat. Mereka juga berhak menunjuk aspek-aspek kehidupan social yang harus atau perlu diubah dan diperbaiki.
Ada orang yang berpendapat bahwa pertmbangan nilai (value, judgement, mengenai baik dan buruk) sebenarnya bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang objektif sebab penilaian itu sifatnya sangat subjektif. Larena itu, ilmu pengetahuan murni harus meninggalkan generalisasi-generalisasi etis dan penilaian etis (susila, baik dan buruk). Sebaliknya kelompok lain berpendapat bahwa dalam kehidupan sehari-hari, manusia dan kaum ilmuan tidak mungkin tidak menggunakan pertimbnagan nilai sebab opini mereka selalu saja merupakan keputusan yang dimuati dengan penilaian-penilaian tertentu.
Untuk menjawab dua pendirian yang kontroversial tersebut, kita dapat meninjau kembali masalah ini secara mendalam dari beberapa point yang disebutkan oleh Kartini Kartono dalam bukunya yang berjuduk Patologi social, sebagai berikut:
- ilmu pongetahuan itu sendiri selalu mengandung nilai-nilai tertentu. Hal ini dikarenakan ilmu pengetahuan menyangkut masalah mempertanyakan dan memecahkan lesulitan hidup secara sistematis selalu dengan jalan menggunakan metode dan teknik-teknik yang berguna dan bernilai. Disebut bernilai karena dapat memenuhi kebutuhan manusiawi yang universal ini, baik yang individual maupun social sifatnya, selalu diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang bernilai.
- ada keyakinan etis pada diri manusia bahwa penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan modern untuk menguasai alam (kosmos,jagad) sangatlah diperlukan demi kesejahteraan dan pemuasan kebutuhan hidup pada umumnya. Jadi ilmu pengetahuan dengan sendirinya memiliki system nilai. Lagi pula kaum ilmuan selalu saja memilih dan mengembangkan usaha/aktivitas yang menyangkut kepentingan orang banyak. jadi memilih masalah dan usaha yang mempunyai nilai praktis.
- falsafah yuang demokratis sebagaimana tercantum dalam pancasila menyatakan bahwa baik individu maupun kelompok dalam masyarakat Indonesia, pasti mampu memformulasikan serta menentukan system nilai masing-masing dan sanggup menentukan tujuan serta sasaran yang bernilai bagi hidupnya.
Adapun Istilah / konsep lain untuk patologi social adalah, Masalah social, disorganisasi sosial / social disorganization / disintegrasi social, sosial maladjustment, Sociopathic, Abnormal, Sociatri.
Tingkah laku sosiopatik jika diselidiki melalui pendekatan (approach), sebagai berikut:
1) Approach Biologis
Pendekatan biologis tentang tingkahlaku sosiopatik dalam biologi biasanya terfokus pada bagian genetik.
- Patologi itu menurun melalui gen / plasma pembawa sifat di dalam keturunan, kombinasi dari gen-gen atau tidak adanya gen-gen tersebut
- Ada pewaris umum melalui keturenan yang menunjukkan tendesi untuk berkembang kearah pathologis (tipe kecenderungan yang luaar biasa abnormal)
- Melaui pewarisan dalam bentuk konstitusi yang lemah, yang akan berkembang kearah tingkahlaku sosiopatik.
2) Approach Psychologist dan Psychiatris
a) Pendekatan Psikologis
Menerangkan tingkahlaku sosiopatik berdasarkan teori intelegensi, sehingga individu melanggar norma-norma sosial yang ada antara lain karena faktor-faktor: intelegensi, sifat-sifat kepribadian, proses berfikir, motivasi, sifat hidup yang keliru, internalisasi yang salah.
b) Pendekatan Psychiatris
Berdasarkan teori konflik emosional dan kecenderungan psikopatologi yang ada di balik tingkahlaku menyimpang
c) Approach Sosiologis
Penyebab tingkahlaku sosiopatik adalah murni sosiologis yaitu tingkahlaku yang berbeda dan menyimpang dari kebiasaan suatu norma umum yang pada suatu tempat dan waktu tertentu sangat ditentang atau menimbulkan akibat reaksi sosial “tidak setuju”. Reaksi dari masyarakat antara lain berupa, hukuman, segregrasi (pengucilan / pengasingan), pengucilan, Contoh: mafia (komunitas mafia dengan perilaku pengedar narkoba)
Menurut St. Yembiarto (1981) bahwa studi patologi social memilki fase-fase tersendiri[5]. Adapun perkembangan patologi sosial ada melalui tiga fase,
- Fase masalah sosial (social problem)
- Fase disorganisasi sosial
- Fase sistematik
Penutup
Sejarah mencatat tentang masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi, dan urbanisasi, dll. Hal ini disamping mampu memberikan berbagai alternative kemudahan bagi kehidupan manusia juga dapat menimbulkan Kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment menyebabkan kebingungan, kecemasan, dan konflik-konflik. Baik yang bersifat internal dalam batinnya sendiri maupun bersifat terbuka atau eksternalnya sehingga manusia cenderung banyak melakukan pola tingkah laku yang menyimpang dari pola yang umum dan banyak melakukan sesuatu apapun demi kepentingannya sendiri bahkan masyarakat cenderung merugikan orang lain. Hal ini sebagai pertautan tali yang melahiorkan apa yang dinamakan dengan patologi social. Patologi social adalah ilmu tentang gejala-gejala sosial yang dianggap “sakit” yang disebabkan oleh faktor-faktor social. Jadi ilmu tentang “penyakit masyarakat”. Maka penyakit masyarakat itu adalah segenap tingkah laku manusia yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum dan adat istiadat, atau tidak integrasinya dengan tingkah laku umum.
http://psynetpreneur.blogspot.com/2008/08/patologi-sosial.html Kartini Kartono, Patologi social, PT. RajaGrafindo Persada:Jakarta, 2005. hal.V Lihat hal.2, Kartini Kartono, Patologi social
Kartini Kartono, Patologi social, PT. RajaGrafindo Persada:Jakarta, 2005. hal.4
http://taufiqjournal.wordpress.com/artikel/sejarah-patologi-sosial/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar