Rabu, 20 April 2011

Lahirnya KAUM MISKIN (MASSA PERIFERAL) PERKOTAAN

LAHIRNYA KAUM MISKIN (MASSA PERIFERAL) PERKOTAAN

Latar belakang munculnya kaum miskin perkotaan menjadi pembahasan mulai pada awal tahun 1970-an. Ini bukan berarti sebelumnya tidak ada kaum miskin di perkotaan, tetapi sebelum tahun itu masih sedikit fenomena perkotaan yang muncul ke permukaan seperti kasus penggusuran, pengangguran, sektor informal dan lain-lainnya.

kehidupan kaum miskin perkotaan baik dilihat dalam perspektif budaya maupun sosial ekonomi. Sekurangnya ada tiga penyebab lahirnya kaum miskin perkotaan, yaitu antara lain adalah :

1. Perpindahan penduduk dari desa ke kota sering disebut migrasi desa-kota atau urbanisasi.

2. Meningkatnya jumlah penggusuran di perkotaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perbaikan penataan kota.

3. Adanya penduduk asli kota yang tidak dapat memanfaatkan hasil-hasil pembangunan kota, sehingga mereka selalu dalam kelompok miskin.

Ketiga fenomena tersebut menuntut penjelasan terpadu karena satu sama lain saling berkaitan. sebab utama terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota adalah karena kekurangan tanah, pendidikan rendah ataupun karena motivasi ekonomi sebab hal itu sangat terkait dengan usaha untuk mempertahankan hidup

Arus migrasi terbesar di perkotaan Indonesia, khususnya perkotaan di Jawa, terjadi di sekitar tahun 1985. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh deregulasi ekonomi sektor perbankan yang digulirkan pemerintah dua tahun sebelumnya. Kesempatan yang terbuka bagi pihak swasta untuk mengembangkan usahanya sehingga berdiri pabrik-pabrik maupun perusahaan baru, telah mendorong penduduk pedesaan melakukan migrasi ke perkotaan di Jawa. Jakarta misalnya, pada tahun 1980 dimasuki sekitar 50.000 pendatang baru dari pedesaan di Jawa, tetapi lima tahun kemudian (1985) jumlah pendatang baru menjadi sekitar 65.000 orang. Sedangkan pada tahun 1987, jumlah pendatang baru turun menjadi sekitar 56.000 orang (Jakarta dalam Angka (Jakarta: Kantor Statistik DKI Jakarta, 1987, 1990)). Selain para migran yang berasal dari pedesaan Jawa tersebut, para migran juga berasal dari luar Jawa. Jika dilihat migran antar pulau, tampak bahwa migran dari Sumatera selalu mempunyai jumlah tertinggi. Pada tahun 1980, misalnya mereka yang bermigrasi dari Sumatera ke Jawa sebesar 261.137 orang, tetapi lima tahun kemudian (1985) menjadi 898.822 orang. Jumlah ini memang menurun pada tahun 1990, tetapi dibandingkan dengan migran dari pulau lain, migran dari Sumatera ke Jawa tetap paling besar jumlahnya. Penurunan arus migran yang terjadi pada tahun 1990, diduga berkaitan dengan semakin meratanya pembangunan di Indonesia, sehingga di tiap perkotaan di luar Jawa, telah terbuka pula kesempatan untuk bekerja di sektor manufaktur, perdagangan dan jasa yang berkembang di perkotaan luar Jawa tersebut.


Para migran yang umumnya berpendidikan rendah dan tidak mempunyai ketrampilan khusus akhirnya memang sanggup melakukan pekerjaan apapun yang ada. Dari beberapa hasil penelitian, kelompok ini lebih mudah memperoleh pekerjaan di perkotaan karena mereka tidak memilih-milih pekerjaan. Mereka sanggup bekerja sebagai buruh pabrik, buruh bangunan, tukang ojek, tukang becak, kuli angkut, tukang parkir, pedagang asongan, pengemis, gelandangan (tuna wisma), sopir, pemulung dan lain-lain. Tetapi jika dilihat dari penghasilan dan pemenuhan kebutuhan hidup yang lain, mereka umumnya menerima penghasilan setara dengan upah minimum dan menjalani hidup sesuai dengan standar kebutuhan fisik minimum. Indikator kedua yang menjadi penyebab lahirnya kaum miskin kota (massa periferal) adalah karena adanya penggusuran pemukiman penduduk. Perkembangan kota menuntut penyesuaian tata kota sehingga seringkali kampung-kampung digusur untuk dibangun sarana-sarana umum demi kepentingan masyarakat.

Penggusuran yang dilakukan pemerintah daerah sebenarnya tidak dilandasi alasan apakah daerah yang akan digusur tersebut adalah kampung kumuh atau tidak, tetapi lebih didasari pada alasan tata kota, khususnya yang menyangkut keindahan kota dan pemanfaatan ruang yang ada demi kepentingan umum. Namun apapun alasan yang mendasari pemikiran para pembuat kebijakan tersebut, akibatnya memang tidak banyak membantu kelompok tergusur. Fenomena penggusuran ini justru menambah jumlah kaum miskin di perkotaan karena sebagian dari mereka yang tergusur sebenarnya ada yang sudah cukup kaya (mapan). Tetapi karena (secara umum) ganti rugi yang mereka terima kecil, maka uang tersebut tidak cukup untuk mempertahankan hidup seperti pada saat sebelum tergusur.

Akibatnya kelompok masyarakat tergusur ini memilih hidup di pinggir kota atau pindah di kampung lain di dalam kota dan uang yang mereka terima dipergunakan untuk mengontrak rumah dan membeli barang konsumtif. Keputusan untuk tetap tinggal di dalam kota ini biasanya berkaitan dengan alasan memperpendek jarak dan mempersingkat waktu pergi ke tempat kerja terutama bagi mereka yang bekerja di sektor informal.

Indikator ketiga penyebab lahirnya kaum miskin perkotaan adalah karena kegagalan penduduk asli perkotaan yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan kecepatan pembangunan kota. Mereka masih cenderung mempertahankan nilai siklis seperti tidak disiplin, tidak memandang perlu belajar sampai ke pendidikan tinggi, tidak sanggup berkompetisi dan lain-lain yang sebenarnya tanpa sadar mendorong dan memantapkan mereka menjadi kaum miskin kota. Karena karakter penduduk asli yang demikian akhirnya secara alamiah mereka terdesak oleh para pendatang baru yang lebih agresif dan mempuyai pendidikan lebih tinggi atau kemampuan manajemen dan ketrampilan lebih baik.

Kenaikan jumlah kaum miskin kota tersebut dimungkinkan berkaitan dengan jenuhnya perkotaan menampung arus penduduk yang melakukan migrasi. Tampaknya sinyalemen beberapa ahli masalah perkotaan menjadi terbukti, bahwa pada satu titik tertentu sektor informal pun mengalami kejenuhan sehingga tidak dapat lagi menampung tenaga kerja baru. Kejenuhan perkotaan inilah yang diduga menjadi penyebab utama meningkatnya kelompok penduduk sangat miskin dan miskin di perkotaan; selain karena sebab-sebab lain seperti menjadi korban gusur atau karena tidak mampu mengikuti perubahan dan kompetisi sebagai salah satu ciri nilai perkotaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar